Senin, 13 Januari 2020

4.5 Jelaskan solusi untuk mengurangi kesenjangan digital

SOLUSI MENGURANGI KESENJANGAN DIGITAL

1. Langkah yang terbaik untuk mengurangi kesejangan digital adalah menyiapkan masyarakat untuk bisa menangani, menerima, menilai, memutuskan dan memilih informasi yang tersedia. Penyiapan kondisi psikologis bagi masyarakat untuk menerima, menilai, memutuskan dan memilih informasi bagi diri mereka sendiri akan lebih efektif dan mendewasakan masyarakat untuk bisa mengelola informasi dengan baik. Dengan kemajuan teknologi informasi seseorang atau masyarakat akan mendapat kemudahan akses untuk menggunakan dan memperoleh informasi. Misalnya dengan mengadakan penyuluhan kesekolah-sekolah tentang penggunaan Internet.

2. Pembangunan fasilitas telekomunikasi antara kota dan desa, sehingga setiap masyarakat yang ingin mengakses informasi dapat tercapai dengan tersedianya fasilitas telekomunikasi yang memadai. Wartel dan Warnet memainkan peranan penting dalam mengurangi digital divide. Warung Telekomunikasi dan Warung Internet ini secara berkelanjutan memperluas jangkauan pelayanan telepon dan internet, baik di daerah kota maupun desa.

4.4 Sebutkan dampak plus minus kesenjangan digital

Dampak positif kesenjangan digital 

Bagi sebagian orang yang belum mengenal atau menerapkan teknologi maka masyarakat dapat termotivasi untuk ambil bagian dalam peningkatan teknologi informasi tersebut.

Dampak negatif kesenjangan digital

Bagi mereka yang mampu menghasilkan teknologi dan sekaligus memanfaatkan teknologi memiliki peluang lebih besar untuk mengelola sumber daya ekonomi, sementara yang tidak memiliki teknologi harus puas sebagai penonton saja. Akibatnya yang kaya semakin kaya dan yang miskin tetap miskin.

Kemajuan Teknologi Informasi itu terlahir dari sebuah kemajuan zaman, bahkan mungkin ada yang menolak anggapan, semakin tinggi tingkat kemajuan yang ada, semakin tinggi pula tingkat kriminalitas yang terjadi.


Sumber: https://rasyid-21.blogspot.com/2019/01/dampak-positif-dan-negatif-kesenjangan.html

4.3 Jelaskan dan berikan contoh ruang publik digital internet dan ponsel

Ruang publik adalah sebuah teori yang diciptakan dan dipopulerkan Habermas yang berfokus kepada sebuah kajian historis terhadap diskusi kritis sebagai feedback dari realitas sosial, yang terdiri dari politik, budaya, dan hal apapun yang menarik minat masyarakat yang terjadi pada awal abad ke-18. Kemunculan internet sebagai media baru menjadikan perubahan budaya dan transformasi ruang publik menjadi suatu bentuk wadah yang mempunyai skala besar dan terlepas dari persoalan tempat dan waktu.

Hal tersebut menjadi titik perhatian untuk melihat bagaimanakah bentuk dan karakter serta permasalahan yang terjadi tentang ruang public di era digital. Salah satu inti dari konsep Ruang Publik Habermas adalah adanya interaksi antar masyarakat dalam melakukan diskusi dan membahas kepentingan-kepentingan publik. Interaksi diantara mereka melahirkan opini-opini sehingga melahirkan diskursus sebagai penyeimbang bagi opini yang dihasilkan pemerintah.

Ruang publik juga berperan dalam mengawasi orotiras kuasa dan mendesakkan agenda-agenda publik kepada pemerintah. Sebelum era digital, diskursus di Indonesia dikuasai oleh kelas menengah (seperti disebut di atas) karena mereka yang memiliki akses dan kesempatan untuk menguasai asosiasi, organisasi, maupun media. Karena sifatnya yang terkooptasi, maka diskursus yang dihasilkan relatif sepi dari menyuarakan kepentingan publik secara umum, tapi lebih dekat kepada kepentingan kekuasaan dan pasar. Era internet telah membuka kran diskursus kepada siapapun. Era internet dengan platform kemajuan digitalnya menyediakan media komunikasi yang memungkinkan siapapun dimanapun bertukar pikiran, bersahutan opini, membentuk diskursus di ruang publik.

Kalau dulu ruang publik hanya terbatas kepada beberapa orang, maka ruang publik di era digital adalah ruang maya tak berbatas. Kecanggihan internet menyediakan ruang maya yang popular dengan istilah cyberspace. Ruang publik yang selama berabad-abad sebelumnya dikaitkan dengan komunikasi “riil” di tempat-tempat fisik, pada era digital diperluas ke cyberspace. Dunia maya menjadi tempat di mana warga negara bisa menuangkan opini dan aspirasinya, saling berinteraksi satu sama lain untuk mendiskusikan satu kebijakan tertentu yang diambil pemerintah. Media sosial adalah satu platform cyberspace yang palig digemari. Ia adalah wujud ruang publik yang sangat bebas dan tak terbatas. Setiap warga negara bisa menyampaikan opini, berdiskusi, secara bebas di ruang tersebut. Tak ada yang bisa membatasinya. Bahkan negara sekalipun, tak mampu mencegahnya. Jika ada kebijakan pemerintah yang tidak disetujui, publik bisa menyampaikan keberatannya di media sosial. Kritiknya bisa dibaca oleh pengguna media sosial yang lain.

Mereka yang setuju dengan kritikan tersebut, bisa memperluas dan memperkuat diskursus. Ketika jumlah mereka yang sepakat ini menggelembung, maka mereka menjelma menjadi kelompok penekan meskipun satu sama lain tidak mengenal. (Andriadi, 2016: 251-254).
Menurut Fayakhun Andriadi, ruang publik baru ini memiliki kelebihan yang tidak ada pada ruang publik lama: Pertama, tidak ada batasan yang mengikat (borderless). Kedua, tidak terbatas populasi. Ketiga, steril dari intervensi dan kontrol negara. Keempat, semua orang setara, tak ada aktor yang lebih berkuasa. (Andriadi, 2016: 254-261).


Sumber: http://annisayaning.blogspot.com/2019/01/43-jelaskan-dan-berikan-contoh-tentang.html

4.2 Jelaskan dan berikan contoh ruang publik tradisional

Ruang publik adalah Areal atau tempat dimana suatu masyarakat atau komunitas dapat berkumpul untuk meraih tujuan yang sama, sharing permasalah baik permasalah pribadi maupun kelompok dan bergantung pada norma dan adat yang berlaku.

Contohnya : Desa,Pasar, Lapangan, Taman,Sekolah dan Lingkungan Sekitar.   














4.1 Apa yang kamu ketahui tentang demokrasi digital

Demokrasi digital



Demokrasi digital secara sederhana adalah aktivitas politik yang menggunakan saluran digital, terutama web 2.0, sebagai bentuk partisipasi politik atau penggalangan dukungan publik (Wilhem, 2003).
Demokrasi digital memiliki beberapa sifat di antaranya adalah: sifatnya yang interaktif; proses interaktif mengandaikan adanya komunikasi yang bersifat resiprokalitas, semua warga negara bisa berdialog secara interaktif.
Lalu lewat demokrasi digital juga dijamin Kebebasan berbicara; sehingga pengguna internet atau teknologi informasi dapat mengekspresikan dirinya tanpa kontrol yang signifikan dari penguasa. Setiap warga negara misalnya bisa secara diskursif mengetengahkan gagasan-gagasannya yang paling gila sekalipun. Selain itu terbentuknya komunitas virtual yang peduli terhadap kepentingan publik dan komunikasi global yang tidak terbatas pada satu negara-bangsa. Lewat demokrasi digital juga informasi atau kajian politik dapat diproduksi secara bebas dan disebarkan ke ruang publik virtual untuk diuji.
Grossman menulis tentang sinergi antara media (web 2.0) dan demokrasi yang mewujud dalam demokrasi digital (digital democracy).


Suatu contoh dari penggunaan demokrasi digital
Fenomena yang sangat menarik, sebagai contoh, dalam sejarah kontemporer demokrasi dunia dan media tentu saja kampanye Barack Obama yang menggunakan web 2.0, seperti YouTube, MySpace dan terutama Facebook untuk menarik donasi dari pendukungnya. Obama mendapatkan dana kampanye sebesar 454 juta dollar Amerika Serikat (AS) dan menghabiskan 377 juta dollar AS, tertinggi dalam sejarah Amerika dan dunia. Dari jumlah itu, sebanyak 95 persen dari situs jejaring sosial (Kompas, 1 November 2007).
Dalam sejarah demokrasi Indonesia, fenomena facebookers adalah yang pertama dan yang sangat signifikan, khususnya sebagai bentuk partisipasi politik masyarakat. Ada dua contoh kasus yang mengemuka yaitu dukungan facebookers terhadap Prita Mulyasari terkait masalah dengan RS Omni Tengerang dan Gerakan 1.000.000 facebookers yang mendukung Bibit-Chandra yang mencapai lebih dari 1 juta pendukung. Harian Media Indonesia pada edisi 8 November 2009 menjadikannya headline.
Perlu diketahui, berdasarkan data resmi Facebook akhir Desember 2009, Indonesia, dengan jumlah pengguna 14.681.580 berada di posisi nomer empat di bawah Amerika, Inggris, dan Turki, tetapi dengan perkembangan yang paling pesat di bandingkan empat negera tersebut. Pada pertengahan tahun ini, bukan tidak mungkin Indonesia menduduki peringkat kedua mengingat jumlah penduduk kita lebih banyak dari Inggris.


Miriam Budiardjo (2008), mengutip Samuel P Huntington dan Joan M Nelson, mengatakan, “Partisipasi politik adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksudkan untuk memengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah”. Partisipasi politik masyarakat bisa dibagi menjadi dua. Pertama, partisipasi yang otonom (autonomous participation). Kedua, partisipasi yang dimobilisasi (mobilized participation). Partisipasi masyarakat demokrasi digital bisa masuk dua kategori tersebut. Hal ini karena ajakan (cause) dalam internet (Facebook) bersifat otonom meski pada awalnya dimobilisasi, seperti Gerakan 1.000.000 facebookers yang mendukung Bibit-Chandra yang dilakukan Usman Yasin, seorang dosen Universitas Bengkulu.
Yang menjadi pertanyaan kemudian, seberapa efektif partisipasi politik masyarakat demokrasi digital melalui dunia maya itu. Memang cukup susah menentukan, apakah bantuan teknologi tersebut efektif atau tidak. Apakah ingar-bingar tuntutan pembebasan Bibit-Chandra disebabkan dukungan para facebookers yang mencapai angka 1 juta lebih, tertinggi dalam sejarah Indonesia? Atau oleh krusialnya kasus itu terutama karena menyangkut tiga institusi penegak keadilan? Atau oleh tekanan media massa konvensional? Atau juga oleh gerakan yang dibangun oleh lembaga non-pemerintah seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparency International Indonesia, Kontras, dan sebagainya? Atau juga oleh aksi unjuk rasa yang terjadi hampir di semua daerah?
Yang bisa dikatakan di sini adalah semua itu bisa menjadi penyebab yang terjadi secara simultan dan dinamis. Setiap satuan penyebab saling memengaruhi dan menjadi pemicu-penyebab. Yang jelas partisipasi masyarakat demokrasi digital juga ikut membentuk arus opini publik dalam ruang publik cyber.
Sebagai perbandingan, partisipasi politik masyarakat yang lebih matang demokrasinya seperti Amerika Serikat, cenderung bersifat aksi yang terorganisasi dan terfragmen. Dalam arti, meski mereka tidak begitu signifikan partisipasinya dalam pemilihan umum (kecuali kasus pemilihan Obama), mereka membentuk suatu perkumpulan atau organisasi yang lebih solid yang biasanya terfragmen dalam bingkai isu yang spesifik, katakanlah isu lingkungan, perlindungan anak, pelestarian alam, dan sebagainya.
Menurut mereka, partisipasi politik seperti itu lebih efektif dan signifikan ketimbang memberikan suara dan berdemonstrasi. Juga lebih antisipatif dan tidak reaktif karena mereka sudah menguasai masalah dan isu-isu yang berkembang juga cara-cara penanganannya (Gabriel A Almond dan Sidney Verba dalam Budiardjo, 2008).
Dalam kasus masyarakat Indonesia, tidak ada kecenderungan membentuk perkumpulan atau kelompok kepedulian yang modern, sistematis, dan partisipatoris, model partisipasi politik ala facebookers menjadi penting. Terutama sebagai bentuk suara penekan (pressure voice) dari masyarakat bawah.
Masih banyak kegiatan yang berkaitan dengan demokrasi digital ini, opini dari masyarakat itu sendiri sebagian ada yang pro dan ada yang kontra tergantung pemikiran masing-masing individu. Namun keuntungan positif dari penggunaan demokrasi secara digital ini sangat dirasakan oleh sebagian besar orang sama seperti beberapa kasus diatas